Sunday 11 May 2014

Sketsa Kaligrafi

Pengertian Kaligrafi :

Secara bahasa perkataan kaligrafi merupakan penyederhanaan dari “calligraphy” (kosa kata bahasa Inggris). Kata ini diadopsi dari bahasa Yunani, yang diambil dari kata kallos berarti beauty (indah) dan graphein : to write (menulis) berarti tulisan atau aksara, yang berarti: tulisan yang indah atau seni tulisan indah. Dalam bahasa Arab kaligrafi disebut khat yang berarti garis. Secara istilah dapat diungkapkan, “calligraphy is handwriting as an art, to some calligraphy will mean formal penmanship, distinguish from writing only by its exellents quality” (kaligrafi adalah tulisan tangan sebagai karya seni, dalam beberapa hal yang dimaksud kaligrafi adalah tulisan formal yang indah, perbedaannya dengan tulisan biasa adalah kualitas keindahannya).
     Ada juga ungkapan lain, seperti Hakim al-Rum mengatakan : Kaligrafi adalah geometri spiritual dan diekspresikan dengan perangkat fisik. Sementara Hakim al-Arab menuturkan kaligrafi adalah pokok dalam jiwa dan diekspresikan dengan indra indrawi. Batasan-batasan tersebut seiring pula dengan yang diungkapkan oleh Yaqut al-Musta’shimi bahwa kaligrafi adalah geometri rohaniah yang dilahirkan dengan alat-alat jasmaniah. Sementara Ubaidillah ibn Abbas mengistilahkan kaligrafi dengan lisan al-yadd atau lidahnya tangan. Dan masih banyak lagi terminologi kaligrafi yang senada dengan yang telah disebutkan. Namun terminologi kaligrafi yang lebih lengkap diungkapkan oeh Syaikh Syamsuddin al-Akfani sebagai berikut: kaligrafi adalah suatu ilmu yang memperkenalkan bentuk-bentuk huruf tunggal, letak-letaknya, dan tata cara merangkainya menjadi sebuah tulisan yang tersusun atau apa yang ditulis diatas garis-garis, bagaimana cara menulisnya dan menentukan mana yang tidak perlu ditulis, menggubah ejaan yang perlu digubah dan menentukan cara bagaimana untuk menggubahnya.


 sedangkan, Pengertian sketsa : Kegiatan membuat sketsa merupakan tradisi sejak zaman Renaissance. Namun demikian, di Indonesia khususnya di Bali, membuat sketsa sudah dilakukan sejak zaman dahulu oleh seniman tradisional yang disebut ngreka. Kegiatan ini mendahului kegiatan melukis tradisional. Ngreka dilakukan dengan membuat bentuk-bentuk di atas kanvas tradisional dengan menggunakan alat tajam dari bambu yang diraut berfungsi sebagai pena.
      Tintanya dibuat dari jelaga dicampur dengan cairan perekat ancur (Suryahadi 2008: 283). Putu Wijaya menjelaskan bahwa sketsa atau sket (sketch) secara umum dikenal sebagai bagan atau rencana bagi sebuah lukisan. Dalam pengertian itu, sketsa lebih merupakan gambar kasar, bersifat sementara, baik di atas kertas maupun di atas kanvas, dengan tujuan untuk dikerjakan lebih lanjut sebagai lukisan. Mengingat sederhana penampilannya, sketsa lebih merupakan “persiapan” dari lukisan yang akan datang.
      Pendapat lain mengatakan bahwa sketsa atau sket (sketch) adalah gambar yang dibuat secara tepat dan spontan dengan menggunakan garis-garis sederhana (Muharrar dan Mujiyono 2007:67). Menurut Myers (1962:69) sketsa merupakan gambar catatan. Sementara Susanto (2002:105) menyatakan bahwa sketsa yaitu memindahkan objek dengan goresan, arsiran, ataupun warna dengan tujuan baik sebagai rancangan maupun karya yang dapat berdiri sendiri (selesai).

Kaligrafi Kontemporer

Kaligrafi kontemporer adalah istilah atau sebutan untuk sebuah karya yang “memberontak” atau “menyimpang” dari rumus-rumus dasar kaligrafi, yang merupakan bentuk manifestasi gagasan dalam wujud visual. Secara estetika kaligrafi kontemporer mengacu kepada kaidah penciptaan seni rupa kontemporer secara umum dan secara etika bersumber kepada Al-Qur’an dan Al-Hadits, yang membawa muatan artistik-apresiatif yang berfungsi sebagai tontonan (media apresiasi), di sisi lain mengandung muatan etik-religius yang berfungsi sebagai tuntunan (media dakwah).
Sering diistilahkan adanya jenis kaligrafi “murni” dan “lukisan” kaligrafi. Pertama, dimaksudkan sebagai kaligrafi yang mengikuti pola-pola kaidah yang sudah ditentukan dengan ketat, yakni bentuk yang tetap berpegang pada rumus-rumus dasar kaligrafi (khath) yang baku. Penyimpangan, ataupun percampuradukan satu dengan lainnya dipandang sebagai kesalahan, karena dasarnya tidak sesuai dengan rumus-rumus yang sudah ditetapkan. Sedang yang kedua, adalah model kaligrafi yang digoreskan pada hasil karya lukis, atau coretan kaligrafi yang “dilukis-lukis” sedemikian rupa –biasanya dengan kombinasi warna beragam, bebas dan (umumnya) tanpa mau terikat dengan rumus-rumus baku yang sudah ditentukan. Model inilah yang digolongkan ke dalam aliran kaligrafi Kontemporer.

Segala aspek yang terkait dengan perkembangan seni kaligrafi, kiranya dapat dipahami dengan pemikiran yang lebih umum tentang kebudayaan Islam. Teori tentang kebudayaan Islam secara umum juga dapat disebut dengan teori evolusi. Secara hipotesis dapat dikatakan bahwa kebudayaan Islam berkembang dari bentuk-bentuk yang sangat sederhana menjadi semakin  kompleks;  dari  sebuah  aturan  lama  yang  telah dibakukan menuju pada usaha “pemberontakan” dan akhirnya tercipta sebuah aturan baru. Teori evolusi berlaku dalam bidang tata-aturan hidup masyarakat dalam berkesenian karena tata-aturan ini diturunkan sesuai dengan tingkat perkembangan dan keperluan masyarakat yang senantiasa berevolusi. Dalam banyak segi, membicarakan masalah kebudayaan berarti akan mempermasalahkan  hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan manusiabaik sebagai manusia pribadi maupun manusia yang hidup berkelompok. Kita menyadari bahwa manusia sebagai makhluk Tuhan adalah merupakan kelompok makhluk yang memiliki kemampuan dalam hal berfikir, berkehendak dan berkemauan maupun cita-cita yang tiada batasnya. Ia yang selalu bercita-cita dengan dibarengi usaha untuk mendapatkan apa-apa yang menjadi kebutuhan hidupnya. Dapat disebut bahwa manusia itu adalah makhluk yang mempunyai aktifitas dan kreatifitas tinggi dalam usaha memenuhi segala keperluan dan kebutuhan hidupnya. Semua kemampuan ini adalah merupakan ungkapan yang terjelma dari budi dan daya manusia.
Dalam kajian keislaman, selalu saja kita terbentur pada sebuah jalan buntu ketika memasuki wilayah kajian seni Islam. Kebuntuan tersebut muncul dari ambivalensi sikap kaum muslim sendiri dalam menangani persoalan dunia seni. Di satu sisi, sebagian besar orang Islam, dapat dipastikan, akan mengatan bahwa Islam sama sekali tidak bertentangan, apalagi melarang seni. Dengan penuh semangat mereka akan menunjukkan berbagai “dalil” baik Aqliyah: bahwa Al-Qur’an sendiri mengandung nilai artistik, historis: bahwa hingga kini tilawah Al-Qur’an dan khath atau kaligrafi tersebar luas, maupun naqliyah: semacam Hadis yang mengatakan bahwa ‘Allah itu Indah dan menyukai keindahan’.
Kaligrafi Islam kontemporer merupakan “pemberontakan” atas kaidah-kaidah murni kaligrafi klasik. Perkembangannya sangat pesat menjejali aneka media dalam bentuk-bentuk kategori. Mazhab tersebut berusaha lepas dari kelaziman khath atau kaligrafi murni yang banyak dipegang para khathath di banyak pesantren dan perguruan Islam, seperti Naskhi, Tsuluts, Farisi ,Diwani Diwani Jali, Kufi, dan Riq’ah.
Di antara ciri-ciri “pelanggaran” yang menunjuk pada bukti kebebasan kreatif yang menghasilkan gaya berbeda ini dapat disimpulkan dari kemungkinan-kemungkinan berikut:
  1. Sepenuhnya berdiri sendiri sebagai suguhan khas pelukisnya, dengan mengabaikan sama sekali bentuk anatomi huruf khath murni. Bentuk ini merupakan eksplorasi teknik dan kebebasan ekspresi penuh sang pelukis.
  2. Merupakan kombinasi antara hasil imajinasi pelukis dengan gaya murni yang populer. Pada bagain ini , karya kontemporer masih mewarisi bentuk tradisionalnya.
Gaya kontemporer juga lebih mengarah kepada kecenderungan tema, yakni karya dua dimensi atau tiga dimensi yang menghadirkan unsur kaligrafi “secara mandiri” dan dilatari unsur lain dalam kesatuan estetik dengan penampilan sebagai gaya ungkapan, media, dan teknik. Wujud nyata alam pada karya-karya dihadirkan melauli penggambaran nyata berupa pemandangan, benda-benda, dan peristiwa.
Ciri tertentu dari gaya kaligrafi yang baru ini berbeda dari satu daerah ke daerah lain, tetapi tidak nampak perbedaan yang menonjol dari satu wilayah dalam mengembangkan seni Islam kuno tersebut. Bukan berati bahwa hasil karya para kaligrafer dewasa ini tidak memperlihatakan keragaman corak. Keragaman corak itu ada, tetapi keragaman corak itu lebih didasarkan pada variasi adaptif pengaruh dari dunia non-Islam bukan dari ciri nasional. Kalaupun harus ditetapkan kategori atas kecendrungan kaligrafi kontemporer di dunia Islam, kebanyakan gaya baru itu akan terbagi menjadi kategori-kategori berikut: Tradisional, Figural, Ekspresionis, Simbolik, dan Abstrak.
1. Kaligrafi Tradisional
Tipe ini dihasilkan oleh para kaligrafer kontemporer muslim dalam berbagai gaya dan tulisan yang telah dikenal generasi kaligrafer terdahulu. Pemakaian kata “tradisional” menunjukan kesenian dengan tradisi khath masa lalu. Pesan-pesan yang lebih ditekankan pada pengaturan yang indah dari huruf-huruf ketimbang menapilkan lukisan kaligrafi dalam bentuk pigura alam. Meskipun demikian, terdapat juga kaligrafer tradisional yang melukis kaligrafi dalam pola dedaunan atau motif-motif bunga dan pola-pola geometris. Namun, efek keseluruhan karya kontemporer para kaligrafer tradisional adalah abstrak.
2. Kaligrafi Figural
Kaligrafi kontemporer disebut sebagai “figural” karena ia menggambungkan motif-motif figural dengan unsur-unsur kaligrafi melalui berbagai cara dan gaya. Unsur-unsur figural lazimnya terbatas pada motif-motif daun atau bunga yang dilukiskan agar lebih sesuai dengan sifat abstrak kaligrafi Islam. Figur-figur manusia atau binatang biasanya jarang ditemukan dalam naskah-naskah al-Qur’an yang ditulis secara kaligrafis, dalam dekorasi masjid atau madrasah. Tipe terakhir ini lebih banyak digunakan pada perkakas rumah tangga. Dalam tipe figural, sering terjadi “peleburan” huruf dalam seni lukis masa lalu dan kontemporer. Dalam desain seperti ini, huruf-huruf diperpanjang atau diperpendek, melebar dan menyelip, atau diperinci dengan perluasan lingkaran, tanda-tanda tambahan dan sisipan lain yang dibuat agar sesuai dengan non-kaligrafis, geometris, floral, fauna, atau sosok manusia.
3. Kaligrafi Ekspresionis
Kaligrafi ekspresionis merupakan tipe ketiga seni kaligrafi kontemporer di dumia Islam kini. Gaya ini berhubungan dengan perkembangan utama dalam estetika Barat. Meskipun para kaligrafer ekspresionis menggunakan  “Perbendaharaan Kata” warisan artistik Islam, mereka jauh berpindah dari contoh “Grammar” kaligrafi asli yang sudah baku. Dalam kaligrafi ekspresionis, perlu diusahakan penyampaian pesan emosional, visual, dan respon pribadi terhadap objek-objek, orang-orang atau peristiwa yang digambarkan.
4. Kaligrafi Simbolis
Kategori keempat kaligrafi Islam kontemporer termasuk apa yang disebut kaligrafi “Simbolis” dengan memaksakan “penyatuan melalui kombinasi makna-makna”, peranan huruf-huruf sebagai penyampaian pesan dinaifkan. Bukti dari akulturasi semacam ini sangat kentara dalam desain-desain kaligrafi kontemporer yang menggunakan huruf atau kata Arab tertentu sebagai simbol suatu gagasan atau ide-ide yang kompleks.  Misalnya huruf sin diasosiasikan dengan sayf (pedang) atau sikkin (pisau) yang lazimnya disandingkan bersama penggambaran objek-objek asosiasi untuk menyampaikan “pesan-pesan khususnya”. Bagi sebagian kalangan, hampir semua huruf bisa dipahami secara simbolik, meskipun tidak disetujui sebagian yang lain.
5. Kaligarafi Abstrak
Gaya kelima kaligrafi Islam kontemporer ini dijuluki “khat palsu” atau “khat kabur mutlak“ karena menunjukkan corak-corak seni yang menyamai huruf-huruf atau perkataan-perkataan tetapi tidak mengandung makna apapun yang dapat dikaitkan dengannya. Dengan menafikan makna lingustik, huruf-huruf itu hanya menjadi unsur sesuatu corak dan untuk “tujuan-tujuan” seni semata. Melalui  penggunaan unsur-unsur abjad yang berubah-ubah itu, ahli-ahli kaligrafi abstrak menggunakan huruf-huruf sebagi corak, tidak sebagai unsur-unsur suatu pesan.
Keragaman corak dari beberapa kategori tersebut di atas, sama-sama ingin menghadirkan (menciptakan) sebuah karya seni sebagai wujud dari ekspresi estetika dan etika islami seorang seniman. Perbedaan yang sangat menonjol hanya terletak pada karakteristik yang berusaha ditampilkan dan media yang digunakan oleh masing-masing seniman sebagai perupayat (pelukis kaligrafi).
Seni rupa kontemporer Islam yang berkembang di Indonesia – termasuk di dalamnya seni lukis kaligrafi– memang membuat masyarakat terkejut dan menimbulkan berbagai pandangan di kalangan seniman muslim, karena kehadirannya yang tiba-tiba populer di tahun ’70-an. Padahal ia tidak muncul begitu saja, melainkan melalui pergumulan ide yang panjang, hingga tumbuh subur di kalangan seniman kita beberapa waktu terakhir ini, terutama sejak diadakannya pameran Seni Kaligrafi Islam pada MTQ XI di Semarang (1979) dan pameran pada Muktamar Media Masa Islam se-Dunia I di Balai Sidang Senayan Jakarta (1-3 September 1980).
Pelopor mazhab ini adalah Ahmad Sadali dan A.D. Pirous (Bandung) diikuti oleh Amri Yahya (Yogyakarta) dan Amang Rahman (Surabaya). Ajaran-ajaran mereka dengan cepat menyebar dan diikuti para pelukis di kampus-kampus seni rupa. Di Yogyakarta, “generasi kedua” sesudah mereka  antara lain, Syaiful Adnan, Hatta Hambali, Hendra Buana, Yetmon Amier, dan lain-lain dengan aneka teknik dan gayanya masing-masing.